BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Korupsi di tanah negeri, ibarat
“warisan haram” tanpa surat wasiat. Ia tetap lestari sekalipun diharamkan oleh aturan hukum yang
berlaku dalam tiap orde yang datang
silih berganti. Hampir semua segi kehidupan terjangkit korupsi. Apabila
disederhanakan penyebab korupsi meliputi
dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
merupakan penyebab korupsi yang datang dari diri pribadi sedang faktor
eksternal adalah faktor penyebab terjadinya korupsi karena sebab-sebab dari
luar. Faktor internal terdiri dari aspek moral, misalnya lemahnya keimanan,
kejujuran, rasa malu, aspek sikap atau perilaku misalnya pola hidup konsumtif
dan aspek sosial seperti keluarga yang dapat mendorong seseorang untuk berperilaku korup. Faktor eksternal bisa dilacak dari
aspek ekonomi misalnya pendapatan atau gaji tidak mencukupi kebutuhan, aspek
politis misalnya instabilitas politik, kepentingan politis, meraih dan
mempertahankan kekuasaan, aspek managemen & organisasi yaitu ketiadaan
akuntabilitas dan transparansi, aspek hukum,
terlihat dalam buruknya wujud perundang-undangan dan lemahnya
penegakkan hukum serta aspek sosial yaitu lingkungan atau masyarakat yang
kurang mendukung perilaku anti korupsi.
1.2
Perumusan Masalah
a.
Apa
saja faktor penyebab korupsi
b.
Apa
penyebab korupsi dalam perspektif teoretis
c.
Apa
faktor internal dan eksternal penyebab korupsi
1.3
Tujuan
a.
Untuk mengetahui apa saja yang menyebabkan korupsi
b.
Untuk mengetahui apa-apa saja faktor internal dan
eksternal penyebab korupsi
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Devinisi Korupsi
Kata
“korupsi” berasal dari bahasa Latin
“corruptio” atau “corruptus”. Selanjutnya dikatakan bahwa
“corruptio” berasal dari kata
“corrumpere”, suatu bahasa Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin
tersebut kemudian dikenal istilah
“corruption, corrupt”
(Inggris), “corruption” (Perancis) dan “corruptie/korruptie”
(Belanda). Arti kata korupsi secara harfiah adalah kebusukan, keburukan,
kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari
kesucian.
Istilah
korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia, adalah
“kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan
ketidakjujuran”. Pengertian lainnya, “perbuatan yang buruk seperti penggelapan
uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya”. Selanjutnya untuk beberapa
pengertian lain, disebutkan bahwa :
1. Korup artinya busuk, suka menerima uang
suap/sogok, memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya;
2. Korupsi artinya perbuatan busuk seperti
penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya; dan;
3. Koruptor artinya orang yang melakukan
korupsi. Dengan demikian arti kata korupsi adalah sesuatu yang busuk, jahat dan
merusak, berdasarkan kenyataan tersebut perbuatan korupsi menyangkut sesuatu
yang bersifat amoral, sifat dan keadaan yang busuk, menyangkut jabatan instansi
atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena
pemberian, menyangkut faktor ekonomi dan politik dan penempatan keluarga atau golongan
ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatan.
Menurut
Subekti dan Tjitrosoedibio dalam kamus hukum, yang dimaksud corruptie adalah korupsi, perbuatan curang, tindak
pidana yang merugikan keuangan negara. Selanjutnya Baharudin Lopa mengutip
pendapat David M. Chalmers, menguraikan istilah korupsi dalam berbagai bidang,
yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di
bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. Hal ini diambil
dari definisi yang berbunyi “financial manipulations and deliction injurious to
the economy are often labeled corrupt”.
2.2
Faktor
Penyebab Korupsi
Banyak
faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, baik berasal dari dalam diri pelaku
atau dari luar pelaku. Sebagaimana dikatakan Yamamah bahwa ketika perilaku materialistik dan konsumtif
masyarakat serta sistem politik yang masih “mendewakan” materi maka dapat
“memaksa” terjadinya permainan uang dan korupsi “Dengan kondisi itu hampir
dapat dipastikan seluruh pejabat kemudian `terpaksa` korupsi kalau sudah
menjabat”.
Nur Syam
memberikan pandangan bahwa penyebab seseorang melakukan korupsi adalah karena
ketergodaannya akan dunia materi atau kekayaan yang tidak mampu ditahannya.
Ketika dorongan untuk menjadi kaya tidak mampu ditahan sementara akses ke arah
kekayaan bisa diperoleh melalui cara berkorupsi, maka jadilah seseorang akan
melakukan korupsi.
Dengan
demikian, jika menggunakan sudut pandang penyebab korupsi seperti ini, maka
salah satu penyebab korupsi adalah cara pandang terhadap kekayaan. Cara pandang
terhadap kekayaan yang salah akan menyebabkan cara yang salah dalam mengakses
kekayaan.
Pandangan
lain dikemukakan oleh Arifin yang mengidentifikasi faktor-faktor penyebab
terjadinya korupsi antara lain:
Ø aspek
perilaku individu
Ø aspek
organisasi,
Ø aspek
masyarakat tempat individu dan organisasi berada.
Terhadap
aspek perilaku individu, Isa Wahyudi memberikan gambaran, sebab-sebab seseorang
melakukan korupsi dapat berupa dorongan dari dalam dirinya, yang dapat pula
dikatakan sebagai keinginan, niat, atau kesadaran untuk melakukan.
Lebih
jauh disebutkan sebab-sebab manusia terdorong untuk melakukan korupsi antara
lain :
·
sifat tamak manusia,
·
moral yang kurang kuat menghadapi godaan,
·
gaya hidup konsumtif,
·
tidak mau (malas) bekerja keras.
Tidak
jauh berbeda dengan pendapat di atas, Erry Riyana Hardjapamekas menyebutkan
tingginya kasus korupsi di negeri ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya:
a)
Kurang keteladanan dan kepemimpinan elite bangsa,
b)
Rendahnya gaji Pegawai Negeri Sipil,
c)
Lemahnya komitmen dan konsistensi penegakan hukum
dan peraturan perundangan,
d)
Rendahnya integritas dan profesionalisme,
e)
Mekanisme pengawasan internal di semua lembaga
perbankan, keuangan, dan birokrasi belum mapan,
f)
Kondisi lingkungan kerja, tugas jabatan, dan
lingkungan masyarakat, dan
g)
Lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu, moral dan
etika.
Secara
umum faktor penyebab korupsi dapat terjadi
karena faktor politik, hukum dan ekonomi, sebagaimana dalam buku berjudul Peran
Parlemen dalam Membasmi Korupsi yang mengidentifikasikan empat faktor penyebab korupsi yaitu
faktor politik, faktor hukum, faktor ekonomi dan birokrasi serta faktor
transnasional.
2.2.1
Faktor
Politik
Politik merupakan salah satu
penyebab terjadinya korupsi. Hal ini dapat dilihat ketika terjadi instabilitas
politik, kepentingan politis para pemegang kekuasaan, bahkan ketika meraih dan
mempertahankan kekuasaan.
Perilaku korupsi seperti
penyuapan, politik uang merupakaan fenomena
yang sering terjadi. Terkait dengan hal itu Terrece Gomes (2000)
memberikan gambaran bahwa politik uang (money politik) sebagai use of money and material benefist in the
pursuitof political influence.
Menurut Susanto korupsi pada
level pemerintah adalah dari sisi pemerintah, pemerasan uang suap, pemberian perlindungan,pencurian
barang-barangg politik untuk kepentingan pribadi, tergolong korupsi yang di
sebabkan oleh konstelasi politik. (susanto: 2002).
Sementara menurut De asis,
korupsi politik misalnya perilaku curang (politik uang) pada pemilihan anggota
legislatif ataupun pejabat-pejabat eksekutif, dana iilegal untuk pembiayaan
kompanye, penyelasaian konflik perlemen melalui cara-cara ilegal dan tekniik
lobi yang menyimpang (De Asis: 2000).
Penelitian James Scott (Mochtar
Mas’oed: 1994) mendeskripsikan bahwa dalam masyarakat dengan ciri pelembagaan
politik ekslklusif dimana kompetisi politik dibatasi pada lapisan tipis elit
dan perbedaan antara elit lebih didasaran pada klik pribadi dan bukan pada isu
kebijakan, yang terjadi pada umumnya desakan kultural dan struktural untuk korupsi itu betul-betul
terwujud dalam tindakan korupsi para pejabatnya.
Robert Klitgaard (2005)
menjelaskan bahwa proses terjadinya korupsi denngan formulasi M+D-A=C. Simbol M
adalah monopoli, D adalah discretionary
(kewenangan), A adalah accountability
(pertanggungjawaban). Penjelasan atas simbol tersebut dapat dikatakan bahwa
korupsi adalah hasil dari adanya monopoli (kekuasaan) ditambah dengan
kewenangan yang begitu besar tanpa terbukaan dan pertanggungjawaban.
2.2.2
Faktor
Hukum
Faktor hukum dapat dilihat dari
dua sisi, di stu sisi dari aspek perundang-undangan dan sisi lain lemahnya
penegakan hukum. Tidak baiknya subtansi hukum, mudah ditemukan dalam
aturan-aturan yang diskriminatifdan tidak adil; rumusan yang tidak jelas-tegas (non lex certa) sehingga
multi tafsir; kontradiksi dan overlapping dengan
peraturan lain (baik yang sederajad maupun yang lebih tinggi). Sanksi yang tida
equivalen dengan perbuatan yang dilarang
sehingga tidak tepat sasaran serta dirasa terlalu ringan atau terlalu berat;
penggunaan konsep yang berbeda-beda untuk sesuatu yang sama, semua itu
memungkinkan suatu peraturan tidak kompatibel dengan realitas yang daa
sehiingga tidaak fungsinal aatau tidak produktif dan mengalami resistensi.
Penyebab kaadaan ini sangat beragam,
namun yang domiinan adalah: pertama, tawar-menawar dan pertarungan kepentingan
antara kelompok dan golongan di perlemen, sehingga memunculkan aturan yang bias
dan diskriminatif. Kedua, praktek politik uang dalam pembuatan hukum berupa
suap-menyuap (political bribery),
utamanya menyangkut perundang-undangan dibidang ekonomii dan bisniis. Akibatnya
timbul peraturan yang elastis dan multitafsir serta tumpang-tindih dengan
aturan lain sehingga mudah dimanfaatkan untuk menyelamatkan pihak-pihak
pemesan.
Salaras dengan hal itu Susila
(dalam Hamzah: 2004) menyambut tindakan korupsi mudah timbul kkarena ada
kelemahan di dalam peraturan perundang-undang, yang mencakup: (a) adanya
peraturan perundang-undanganyang bermuuat kepentingan pihak-pihak tertentu (b)
kualitas peraturan perundang-undangan kurang memadai, (c) peraturan kurang disosialisasikan, (d)
sanksi yang terlalu ringan, (e) penerapan sanksi yang tidak konsisten dan
pandanan bulu, (f) lemahnya bidang evalusi dan revisi peraturan
perundang-undangan..
Bibit Samad Riyanto (2009) mangatakan lima hal
yang di anggap berpotensi menjadi penyebab tindakan korupsi. Pertama adalah
sistem politik, yang ditandai dengan munculnya peraturan perundang-undangan,
seperti perda, dan peraturan lain ; kedua, adalah intensitas moral seseorang
atau kelompok; ketiga adalah remunerasi atau pendapatan (penghasilan) yang
minim; keempat adalah pengawasan baik bersifat internal-eksternal; dan kelima
adalah budaya taat aturan.
Dari beberapa hal yang disampaikan, yang paling
penting adalah budaya sadar akan aturan hukum. Dengan sadar hukum, makaa
maasyarakaan akan mengerti konskuensi dari apa yang di lakukan. Sementara itu
Rahmad Saleh merinci ada empat faktor dominan penyebab merajalelanya korupsi di
indonesia, yaknii faktor penegak hukum, mental aparatur, kesadaran masyarakat
yang masih rendah, dan rendahnya ‘political will’ (rahmad
Saleh : 2006).
2.2.3
Faktor
Ekonomi
Faktor ekonoomi juga merupakan salah satu penyebab terjadinya
korupsi. Hal itu dapat dijelaskan dari pendapatan atau gaji yang mencukupi
kebutuhan. Pendapatan ini tidak mutlak benar karena dalam teori kebutuhan
Maslow, sebagaimana dikutip oleh Sulistyantoro, korupsi seharusnya hanya
dilakukan oleh orang yang memenuhi dua kebutuhan yang paling bawah dan logika
lurusnya hanya dilkukan oleh komunis masyarakat yang pas-pasan yang bertahan
hidup. Namun saat iini korupsi di lakukan olehorng kaya dan berpendidikan
tinggi (Sulistyantoro : 2004).
Selain rendahnya gaji pegawai,
bbanyak aspek ekonomi lain yang menjadi penyebab terjadinya korupsi,
diantaranya adalah kekuasaan pemerintah yang di bareni dengan faktor kesempatan
bagi pegawai pemerintah untuk memenuhi kekayaan mereka dan kroninya. Terkaiit
faktor ekonomi dan terjadinya korupsi, banyak pendapat yang menyatakan bahwa
kemiskinan merupakan akar masalahh korupsi. Pernyataan demikian tidak benar
sepenuhnya, sebab banyak korupsi yang di lakukan oleh pemimpin Asia dan Afrika,
dan mereka tidak tergolong orang miskin. Dengan demiikian buukan disebabkan
oleh kemiskinan, tetapi juustru sebaliknya, kemiskinan disebabkan oleh korupsi
(pope : 2003).
Menurut Henry Kissinger korupsi politisi membuat
sepuluh persen lainnya terlihat buruk. Dari keinginan pribadi untuk keuntungan
yang tidak adil, untuk ketidakpercayaan dalam sistem peradilan, untuk
tidakkestabilan lengkap dalam identitas bangsa, ada banyak faktor motivasi
orang kekuasaan, anggota perlemen termasuk warga biasa, untuk terlibat dalam
perilaku korupsi.
2.2.4
Faktor
Organisasi
Organisasi dalam hal ini adalah
organisasi dalam arti yang luas, termasuk sistem pengorganisasian lingkungan
masyarakat. Organisasi yang menjadi korban korupsi atau dimana korupsi terjadi
biasanya memberi adil tejadinya korupsi karena membuka peluang atau kesempatan
untuk terjadi korupsi (tunggal 2000). Bilaman organisasi tersebut tidak membuka
peluang sedikitpun bagi seseorang untuk melakukan korupsi, maka korupsi tidak
akan terjadi. Aspek-aspek penyebab terjadinya korupsi dari sudut pandang dari
organisasi ini meliputi: (a) kurang adanya teladan dari pimpinan, (b) tidak
adanya kultur organisasi yang benar, (c) sistem akuntabilitas di instansi
pemerintah kurang memadai, (d) menajemen cendrung menutupi korupsi di dalam
organisasinya.terkait dengan itu Lyman
W. Porter (1984) menyebut lima fungsi penting dalam organizational goals: (1) facus attention; (2)
provide a source of legitimacy (3) affect the strecture of the organization (4)
serve as a standard (5) provide clues about the organization.
Focus attention, dapat
dijadikan oleh para anggota sebagai semacam guideline untuk
memusatkan usaha-usaha dan kegiatan-kagiatan anggota-anggota dan organisasi
sebagai kesatuan. Melalui tujuan organisasi, para anggota dapat memilih arah
yang jelas tentang segala kegiatan tentang apa yang tidak, serta apa yang harus
dikerjakan dalam kerangka organisasi. Tindak tanduk atas kegiatan organisasi,
oleh karenanya senantiasa berorientasi kepada tujuan organisasi, baik di sadari
maupun tidak.
Dalam fungsinya sebagai dasr legitimasi atau
pembenaran tujuan organisasi dapat dijadikan oleh para anggota sebagai dasar
keabsahan dan kebenaran tindakan-tindakan dan keputusan-keputusannya. Tujuan
organisasi juga berfungsi menyediakan pedoman-pedoman (praktis) bagi para
anggotanya. Dalam fungsinya demiikian tujuan organisasi menghubungkan para
anggotanya dengan berbagai tata cara daam kelompok. Ia berfungsi untuk membantu
para anggotanya menentukan cara terbaik dalam melaksanakan tugas dan melakukan
suatu tindakan.
2.3
Penyebab Korupsi Dalam Persektif Teoretis
Cultural deterministeme sering
dipakai dengan acuan ketika mempelajari penyebab terjadinya korupsi. Perilaku
korupsi pada dasarnya merupakan sebuah fenomena sosiologis yang memiliki
implikasi ekonomi dan politik yang terkait dengan jabaran beberapa teori. Teori
tersebut antara lain teori means-ends scheme yang
diperkenalkan oleh Robert Merton. Dalam teori yang di tokohi oleh Robert Merton
ini sebagaimana dikutip Handoyo (2009: 55) ini dinyatakan bahwa korupsi
merupakan suatu perilaku manusia yang di akibatkan oleh tekanan sosial,
sehingga menyebabkan pelanggaran norma-norma. Lebih jau handoyo mengelaborsi
bahwa setiap sistem sosial memiliki tujuan dan manusia berusaha untuk
mencapainya melalui cara-cara (means) yang telah di sepakati.
Golongan marginal ini kemudian
mencari berbagai cara untuk mendapatkan pengakuan dan akses terhadap
sumber-sumber yang ada di masyarakat. Cara kotor atau menyimpang dari norma
masyarakat terpaksa mereka lakukan demi menyambung kehidupan mereka atau
melawan ketidakadilan yang menimpa mereka. Teori Merton ini ditujukan untuk
menjawab bagaimana kebudayaan terlalu menekankan sukses ekonomi tetapi
membatasi kesempatan-kesempatan untuk mencapainya yang akan menyebabkan tingkat
korupsi yang tinggi.
Teori lain yang menjabarkan
terjadinya korupsi adalah teori solidaritas Sosial yang dikembangkan oleh Emile
Dukheim (1858-1917). Teori ini memandang bahwa watak manusia sebenarnya
bersifat pasif dan dikendalikan oleh masyarakatnya. Solidaritas sosial itu
sendiri merupakan unit yang abstrak. Emiile Durkheim berpandangan bahwa individusecra
moral, netral dan masyarakatlah yang menciptakan kepribadiannya. Ia juga
mengontrol individu lewat fakta sosial yang di pelajarinya melalui pendidikan
dan lingkungan. Karena watak manusia yang pasif maka norma dan nilai
masyarakatlah yang mengendalikan mereka (Angha: 2002).
Teori ini juga membahas mengenai
prilaku korupsi, dengan baik di hadirkan oleh Jack Bologne (Bologne; 2006),
yang dikenal dengan teori GONE. Ilustrasi GONE Theory terkait dengan faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya kecurangan atau korupsi yang meliputi Greeds (keserakahan), Opportunities
(kesempatan), Needs (kebutuhan) dan Exposure (pengungkapan). Greed, terkait keserakahan dan
kerakusan para pelaku korupsi.
Koruptor adalah orang yang tidak
puas akan keadaan dirinya. Opportuniy,
merupakan sistem yang memberikan peluang untuk melakukan korupsi, yang bisa di
perluas keadaan organisasi atau masyarakat yang sedemmikian rupa sehingga
terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan. Needs, yaitu sikap mental yang tidak
pernah merasa cukup, selalu sarat dengan kebutuhan yang ttidak pernah usai. Exposure, hukuman yang dijatuhkan kepada
para pelaku korupsi yang tidak memberi efek jera pelaku maupun orang lain.
2.4
Faktor Internal Dan Eksternal Penyebab Korupsi
Dari
beberapa uraian di atas, tindak korupsi pada dasarnya bukanlah peristiwa yang
berdiri sendiri. Perilaku korupsi menyangkut berbagai hal yang bersifat
kompleks. Faktor-faktor penyebabnya bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi,
tetapi bisa juga bisa berasal dari situasi lingkungan yang kondusif bagi
seseorang untuk melakukan korupsi. Dengan demikian secara garis besar penyebab
korupsi dapat dikelompokan menjadi dua yaitu faktor
internal dan faktor eksternal.
2.4.1
Faktor
Internal, Merupakan Faktor Pendorong Korupsi Dalam Diri, Yang Dapat Dirinci
Menjadi:
2.4.1.1 Aspek Perilaku Individu
v Sifat
tamak/ rakuus manusia.
Korupsi, bukan kejahatan kecil-kecilan kerena mereka membutuhkan makan.
Korupsi adalah kejahatan orang profesional yang rakus. Sudah berkecukupan, tapi
serakah. Mempunyai hasrat besar untuk memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi
pada pelaku semacam itu datang dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan
rakus. Maka tindakan karas tanpa kompromi, wajib hukumannya.
v Moral
yang kurang kuat.
Seorang yang moralnya tidak kuat cendrung mudah tergoda untuk melakukan
korupsi. Godaan itu bbisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahanya, atau
pihak yang lain yang memberikan kesempatan untuk itu.
v Gaya
hidup yang konsumtif.
Kehidupan di kota-kota besar sering mendorong gaya hidup seseorang
konsumtif. Perilaku konsumtif bila tidak di imbangi dengan pendapatan yang memadai
akan membuka peluang seseorang untuk melakukan berbagai tindakan untuk
memenuuhi hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan itu adalah dengan melakukan
korupsi.
2.4.1.2 Aspek Sosial
Perilaku korupsi dapat terjadi karena dorongan
keluarga. Kaum behavioris mengatakan bahwa lingkungan keluargalah yang secara
kuat memberikan dorongan bagi orang untuk korupsi dan mengalahkan sifat baik
seseorang yang sudah menjadi traits pribadinya. Lingkungan dalam hal ini malah
memberikan dorongan dan bukan memberikan hukuman pada orang ketika ia
menyalahgunakan kekuasaannya.
2.4.2
Faktor
Eksternal, Pemicu Periluku Korupsi Yang
Disebabkan Oleh Faktor Di Luar Diri Pelaku.
2.4.2.1 Aspek Sikap Masyarakat Terhadap Korupsi
Pada umumnya jajaran manajemen
selalu menutupi tindak korupsi yang di lakukan oleh segelintir oknum dalam
organisasi. Akibat sifat tertutup ini pelanggaran korupsi justru terus berjalan
dengan berbagai bentuk. Oleh karena itu sikap masyarakat yang
berpotensimenyuburkan tindak korupsi terjadi karena:
·
Nilai-nilai di mmasyarakat kondusif untuk terjadi
korupsi. Korupsi bisa di timbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya, masyarakat
menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap ini sering membuat
masyarakat tidak kritis pada kondisi,misalnya dari mana kekayaan itu di
dapatkan.
·
Masyarakat kurban menyadari bahwa korban utama
korupsi adalah masyarakat sendiri. Anggapan masyarakat umum terhadap peristiwa
korupsi, sosok yang paling di rugikan adalah negara. Padahal bila negara
merugi, asensinya yang paling rugi
adalah masyarakat juga, karna proses anggaran pembangunan bisa berkurang
sebagai akibat dari perbuatan korupsi.
·
Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat
korupsi. Setiap perbuatan korupsi pasti melibatkan anggota masyarakat. Hal ini
kurang disadari oleh masyarakat. Bahkan sering kali masyarakat sudah terbiasa
terlibat pada kegiatan korupsi
sahari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak disadari.
·
Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa
di cegah dan diberantaskan bila masyarakat ikut aktif dalam agenda pencegahan
dan pemberantasan. Pada umumnya mayarakat berpandangan bahwa masalah korupsi adalah tanggungjawab
pemerintah semata. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi itu bisa
diberantas hanya bila masyarakat ikut mielakukannya.
2.4.2.2 Aspek Ekonomi
Pendapatan tidak mencukupi kebutuhan. Dalam
rentangan kehidupan ada kemungkinan
seseorang mengalami sttuasi terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu
membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas diantaranya dengan
melakukan korupsi.
2.4.2.3 Aspek Politis
Menurut Rahardjo (1983) bahwa kontrol sosial adalah
suatu proses yang dilakukan untuk mempengaruhi orang-orang agar bertingkah laku
sesuai dengan harapan masyarakat. Kontrol sosial tersebut dijalankan dengan
menggerakkan berbagai aktivitas yang melibatkan penggunaan kekuasaan negara
sebagai suatu lembaga yang diorganisasikan secara politik, melalui
lembaga-lembaga yang dibentuknya. Dengan demikian intabilitas politik,
kepentingan politis, meraih dan mempertahankan kekuasaan sangat potensi menyebabkan
perilaku korupsi.
2.4.2.4 Aspek organisasi
ü Kurang
adanya sikap keteladanan pimpinan
Posisi pemerintah dalam suatu lembaga formal maupun informal mempunyai
pengaruh penting bagi bawahannya. Bila pemiimpin tidak bisa memberikan
keteladanan yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi, maka
kemungkinan besar bawahannya akan mengambil kesempatan yang sama dengan
atasannya.
ü Tindak
adanya kultur organisasi yang benar
Kultur organisasi biasanya punya pengarah kuat terhadap anggotanya.
Apabila kultur oranisasi tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai
stuasi tidak kondusif mewarnai kehidupan organisasi. Pada posisi demikian
perbuatan negatif, seperti korupsi memiliki peluang untuk terjadi.
ü Kurang
memadainya sistem akuntabilitas
Institusi pemerintahan umumnya pada satu sisi belum di rumuskan dengan
jelas visi dan misi yang di embannya, dan belum di rumuskan tujuan dan ssaran
yang hatus dicapai dalam periode tertentu guna mencapai hal tesebut. Akibatnya,
terhadap instansi pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah instansi tersebut
berhasil mencapai sasarannya atau tidak. Akibat lebih lanjut adalah kurangnya
perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki. Keadaan ini
memunculkan stuasi organisasi yang kondusif untuk peraktik korupsi.
ü Kelemahan
sistem pengendalian manajemen
Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak
pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar atau lemahnya
pengendalian menajemen sebbuuah organiisasi akan semakin terbuka pernuatan tindak
korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.
ü Lemahnya
pengawasan
Secara umum pengawasan terbagi menjadi dua, yaitu pengawasan internal
(pengawasan funsional dan pengawasan langsung oleh pemimpin) dan pengawasan
bersifat eksternal ( pengawasan dari legislative atau masyarakat). Pengawasan
ini kurang bisa efektif karena beberapa faktor, diantaranya adanya tumpang
tindih pengawasan pada berbagai instansi, kurangnya profesional pengawasan
serta kurangnya kepatuhan pada etika hukum maupun pemerintah oleh pengawas
sendiri.
Menurut Arya Maheka, Faktor-Faktor yang menyebabkan terjadinya Korupsi
adalah
1.
Penegakan hukum tidak konsisten : penegakan huku hanya
sebagai meke-up politik, bersifat sementara dan sellalu berubah tiap pergantian
pemerintahan.
2.
Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang karena takut
dianggap bodoh bila tidak menggunakan kesempatan.
3.
Langkanya lingkungan yang antikorup : sistem dan
pedoman antikorupsi hanya dilakukan sebatas formalitas.
4.
Rendahnya pndapatan penyelenggaraan negara. Pedapatan
yang diperoleh harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara negara, mampu
mendorong penyelenggara negara untuk berprestasi dan memberikan pelayanan
terbaik bagi masyarakat.
5.
Kemiskinan, keserakahan : masyarakat kurang mampu
melakukan korupsi karena kesulitan ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan
melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala
cara untuk mendapatkan keuntungan.
6. Budaya
member upeti, imbalan jasa dan hadiah.
7.
Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan
korupsi : saat tertangkap bisa menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau
setidaknya diringankan hukumannya. Rumus: Keuntungan korupsi > kerugian bila
tertangkap.
8.
Budaya permisif/serba membolehkan; tidakmau tahu :
menganggap biasa bila ada korupsi, karena sering terjadi. Tidak perduli orang
lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi.
9.
Gagalnya pendidikan agama dan etika : ada benarnya
pendapat Franz Magnis Suseno bahwa agama telah gagal menjadi pembendung
moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku masyarakat yang memeluk
agama itu sendiri. Pemeluk agama menganggap agama hanya berkutat pada masalah
bagaimana cara beribadah saja. Sehingga agama nyaris tidak berfungsi
dalam memainkan peran sosial. Menurut Franz, sebenarnya agama bisa
memainkan peran yang besar dibandingkan insttusi lainnya. Karena adanya ikatan
emosional antara agama dan pemeluk agama tersebut jadi agama bisa menyadarkan
umatnya bahwa korupsi dapat memberikan dampak yang sangat buruk baik bagi
dirinya maupun orang lain.
Ada
beberapa sebab terjadinya praktek korupsi. Singh (1974) menemukan dalam
penelitiannya bahwa penyebab terjadinya tindak pidana korupsi di India adalah
kelemahan moral (41,3%), tekanan ekonomi (23,8%), hambatan struktur
administrasi (17,2 %), hambatan struktur sosial (7,08 %). Sementara itu Merican
(1971) menyatakan sebab-sebab
terjadinya tindak pidana korupsi adalah
sebagai berikut :
a. Peninggalan
pemerintahan kolonial.
b. Kemiskinan
dan ketidaksamaan.
c. Gaji
yang rendah.
d. Persepsi
yang populer.
e. Pengaturan
yang bertele-tele.
f. Pengetahuan
yang tidak cukup dari bidangnya.
Ainan
(1982) menjelaskan beberapa sebab terjadinya tindak pidana
tindak pidana korupsi yaitu :
a. Perumusan
perundang-undangan yang kurang sempurna.
b. Administrasi
yang lamban, mahal, dan tidak luwes.
c. Tradisi
untuk menambah penghasilan yang kurang dari pejabat pemerintah dengan upeti
atau suap.
d. Dimana
berbagai macam tindak pidana tindak pidana korupsi dianggap biasa, tidak
dianggap bertentangan dengan moral, sehingga orang berlomba untuk korupsi.
e. Di
India, misalnya menyuap jarang dikutuk selama menyuap tidak dapat dihindarkan.
f. Menurut
kebudayaannya, orang Nigeria Tidak dapat menolak suapan dan korupsi, kecuali
mengganggap telah berlebihan harta dan kekayaannya.
g. Manakala
orang tidak menghargai aturan-aturan resmi dan tujuan organisasi pemerintah,
mengapa orang harus mempersoalkan korupsi.
Dari
pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sebab-sebab
terjadinya tindak pidana korupsi adalah
sebagai berikut :
a. Gaji
yang rendah, kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan, administrasi yang
lamban dan sebagainya.
b. Warisan
pemerintahan kolonial.
c. Sikap
mental pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang tidak halal, tidak ada
kesadaran bernegara, tidak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan yang dilakukan
oleh pejabat pemerintah.
d. Konsentrasi
kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada
rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
e. Kurangnya
transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
f. Kampanye-kampanye
politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang
normal.
g. Proyek
yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
h. Lingkungan
tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
i. Lemahnya
ketertiban hukum.
j. Lemahnya
profesi hukum.
k. Kurangnya
kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
l. Gaji
pegawai pemerintah yang sangat kecil.
m. Rakyat
yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian
yang cukup ke pemilihan umum.
n. Ketidakadaannya
kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau "sumbangan
kampanye".
BAB III
PENUTUP
3.1kesimpulan
A.
Korupsi
adalah perbuatan yang busuk, tidak jujur, dan amoral. Korupsi adalah suatu
perilaku yang dengan sengaja memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
kelompok dengan cara yang menyimpang dan illegal, dimana perilaku tersebut
merugikan negara atau pemerintah atau rakyat atau sebuah instansi. Korupsi
dipandang haram dalam agama Islam, dan korupsi juga merupakan hal yang
melanggar hukum, dimana para pelaku korupsi harus dikenakan hukuman pidana
sesuai peraturan dalam Undang-undang RI No. 31 Tahun 1999. Terdapat 6 (enam)
bentuk korupsi, yaitu: memperkaya diri sendiri/orang lain/korporasi,
menyalahgunakan kewenangan jabatan, suap-menyuap, pemerasan, perbuatan curang,
dan gratifikasi.
B.
Penyebab
utama korupsi adalah perilaku inidividu itu sendiri. Apabila individu tersebut
memiliki cara pandang yang menyimpang dalam melihat kekayaan, maka hal itu
dapat mendorong individu untuk melakukan korupsi. Individu yang termasuk dalam
golongan tersebut adalah mereka yang bersifat tamak, kurang iman, dan
konsumtif. Kemudian perilaku individu tersebut didukung dengan adanya
kesempatan. Kesempatan itu dapat berasal dari beberapa aspek, seperti aspek
lingkungan, politik, hukum, ekonomi, dll.
-
Perlunya
penanganan korupsi agar tidak menimbulkan efek yang merugikan masyarakat.
-
Bagaimana
mulai membangun dan membentuk generasi yang bebas korupsi dimasa yang akan
datang.
-
Bagaimana
kita akan membentuk pribadi – pribadi yang jujur, bersih, dan punya integritas
anti korupsi.
3.2 Saran
-
Mudah –
mudahan kita bisa melakukan langkah – langkah penanggulangan atau paling tidak
pencegahan.
-
Mari kita
bangun generasi masa depan yang jujur, bersih, dan bebas korupsi.
-
Pencegahan
dimulai dari diri sendiri, keluarga dan lingkungan disekitar kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar